Nasionalisme Indonesia = Rp 100.000

Wednesday, 28 May 2008 17:46 WIB

WASPADA Online

Oleh M. Arif Nasution

Memperingati 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional  rakyat Indonesia mendapat “kado” istimewa dari pemerintahnya sendiri: Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Padahal kenaikan harga BBM ini disebabkan hanya berdasarkan perhitungan semu angka-angka opportunity benefit dan bukan kondisi sebenarnya.  Kado istimewa ini sebagai bentuk pernyataan bahwa pemerintah Indonesia belum mampu bangkit dari persoalan krisis minyak. Kambing hitam kenaikan harga BBM dunia dikampanyekan pemerintah.

Kado istimewa ini sebenarnya  boleh dikatakan sebagai bentuk baru dari apa yang disebut dengan penipuan (kembali) pemerintah atas rakyatnya. Penipuan melalui BBM. Inilah politik energi yang dilakukan pemerintah SBY-JK kepada rakyatnya. Rakyat menjadi sapi perahan pemerintah atas kelemahan pemerintah yang tidak mampu mengelola minyak dengan baik. Sebagai konsumen, rakyat menjadi subyek yang bisa mendatangkan keuntungan besar dari kenaikan BBM itu. Kononnya keuntungan  dari hasil kenaikan BBM itu untuk rakyat juga.

Menutupi segala kelemahan pemerintah dalam pengelolaan minyak yang selama ini amburadul dan hanya mementingkan keuntungan segelintir kelompok. Menutupi segala bentuk KKN yang selama ini terjadi dalam dunia perminyakan Indonesia. Menutupi kegagalan program pemerintah dalam hal diversifikasi sumber BBM. Menutupi pintu para koruptor untuk tidak diungkap dengan cara membebani rakyat melalui kenaikan BBM. Padahal kebijakan kenaikan harga BBM ini jelas akan meruntuhkan ekonomi rakyat yang selama ini menjadi penopang ekonomi Indonesia (M. Arif Nasution, 2006)
Indonesia adalah negeri kaya akan sumberdaya alam, yang di luar minyak seperti batu bara, emas, aluminium, laut, sungai yang kalau diberdayakan dengan baik akan mendatangkan sumber pemasukan negara. Sayangnya ini semua tidak dikelola dengan baik  Di laut saja sebagaimana dicatat oleh Mayjen TNI Sudrajat (M. Arif Nasution, 2005:123) Indonesia telah mengalami kerugian sebesar US$ 2,136 juta atau sekitar Rp. 19,2 triliun akibat pencurian ikan. Sedangkan berdasarkan laporan FAO pada tahun 2001 jumlah ikan yang ditangkap secara illegal di Indonesia mencapai 1 juta ton setahun dengan nilai kerugian US$ 4 miliar (38 triliun). Sementara itu,  berdasarkan data muktahir yang diolah dari berbagai sumber tentang kekayaan negara yang diselundupkan di dan atau lewat laut adalah: pasir laut senilai US$ 8 miliar (72 triliun), BBM senilai US$ 5,6 miliar (50 triliun), kayu senilai US$, 3,4 miliar (Rp. 30 triliun).

Selama Orde Baru, perusahaan minyak negara, Pertamina menjadi “sapi perahan” para elite Orde Baru. Uang minyak dari Pertamina digunakan untuk kepentingan pribadi dan kepentingan politik Orde Baru. Setelah Orde Baru tumbang,  Indonesia belum memperbaiki dirinya dalam hal pengelolaan minyak.  Malah, pemerintah telah melakukan liberalisasi perminyakan di Indonesia. Padahal atas alasan liberalisasi, Indonesia mengikuti perkembangan harga perminyakan dunia. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Indosat dan perkebunan. Kebijakan pemerintah SBY-JK  yang instan terhadap kenaikan harga BBM sebenarnya  bentuk usaha untuk menutupi segala bentuk KKN yang selama ini terjadi dalam dunia perminyakan Indonesia

Nasionalisme Indonesia

Tahun 1908, Budi Utomo didirikan oleh para intelektual Indonesia. Sebagai organisasi sosial, Budi Utomo mengampanyekan bahwa bangsa Indonesia harus bangkit dari kebodohon, harus bangkit dari keterpurukan dan keterkungkungan dari penjajahan Belanda. Kampanye Budi Utomo ini juga mengajak bangsa Indonesia untuk bersatu.  Gerakan kebangkitan yang dilakukan Budi Utomo merupakan bentuk protes intelektual Indonesia terhadap Belanda yang selama ini menjajah tanpa memberikan kesejahteraan  materi maupun rohani.

Seratus tahun kemudian ketika bangsa Indonesia sudah merdeka dan terlepas dari Belanda, di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) bangsa dan rakyat Indonesia kembali terpuruk. Harga-harga melambung tinggi. BBM susah didapat. Di sisi lain, akibat dari kenaikan harga dan kelangkaan BBM perpecahan dan pertikaian di antara masyarakat kecil terjadi. Sesama supir angkot saling merusak angkotnya.  Para ibu rumah tangga kebingungan karena BBM sulit didapat. Di pasar,  para penjual stres karena daya beli masyarakat menurun  dan itu berpengaruh pada penghasilan mereka. Gerakan kelompok intelektual yang dimotori oleh mahasiswa  untuk menghempang kenaikan harga BBM ini pun berakhir dengan pemukulan dan penembakan oleh aparat kepolisian terhadap mereka. Konflik horizontal merebak menjadi sebuah kekhawatiran.

Di seratus tahun hari Kebangkitan Nasional bukan kebanggaan bahwa bangsa Indonesia,-selepas dari penjajah-  akan sejahtera. Mimpi indah tentang kebangkitan nasional  hanya seremonial yang selalu disikapi dengan upacara. Tanpa ada makna nyata.

Semestinya Budi Utomo dan ‘founding fathers’ Indonesia lainnya akan bersedih  dan menangis menyaksikan kenyataan ini; sama persis ketika masa mereka dulu, rakyat susah  rakyat menderita. Sementara kelompok elite malah sedang menikmati kekayaannya di atas kesusahan dan konflik  rakyat.  Ternyata dalam masa seabad dari apa yang  Budi Utomo dan ‘founding fathers’ perbuat dengan semangat luhur kebangkitan rakyat Indonesia oleh pemerintah SBY-JK telah digagalkan. Kegagalan yang seharusnya tidak perlu terjadi dilakukan oleh bangsa sendiri. Kegagalan yang seharusnya telah dibawa  pergi  penjajah asing.

Penghargaan Seratus Ribu

Prestasi pemerintah SBY-JK di Hari Kebangkitan Nasional Indonesia itu hanya mampu menghargai rakyatnya (yang miskin) dengan nilai seratus ribu rupiah per bulan. Nilai seratus ribu rupiah melalui program  Bantuan Langsung Tunai (BLT) diambil dari kompensasi kenaikan harga BBM.

Penghargaan seratus ribu rupiah yang disebut pemerintah SBY ÐJK sebagai bentuk kompensasi atas kenaikan harga BBM di  Seratus Tahun Kebangkitan Nasional sebenarnya merupakan bentuk pembodohan pemerintah terhadap rakyat. Dengan nilai seratus ribu rupiah tidak akan mencukupi kenaikan harga-harga yang semestinya mampu dipenuhi rakyat. Besar pasak daripada tiang. Nilai nasionalisme di  Seratus Tahun Hari Kebangkitan Nasional oleh SBY-JK dihargai dengan seratus ribu sebulan.

Penghargaan seratus ribu rupiah sebenarnya adalah bentuk pengalihan konflik vertikal yang melibatkan rakyat dan pemerintah atas kenaikan harga BBM kepada konflik horizontal yang melibatkan masyarakat itu sendiri. Di mana-mana terjadi kericuhan; dari mulai data rakyat miskin dan kemiskinan  yang penuh manipulasi sampai distribusi BLT. Jika ada persoalan di lapangan terhadap pemberian seratus ribu rupiah melalui program BLT ini pemerintah lepas tangan dan menyalahkan data yang masuk dari pemerintah daerah.

Ini bermakna secara administratif pemerintahan korban penghargaan seratus ribu rupiah  melalui program BLT ini bukan saja rakyat miskin tetapi juga pemerintah daerah. Ini artinya, pemerintah pusat hanya memetik hasil dari kenaikan harga BBM. Di tingkat bawah; rakyat dan pemerintah daerah menuai konflik. Inilah apa yang disebut dengan model baru bentuk penjajahan melalui politik energi.

Penutup

Sebuah refleksi Seratus Tahun  Kebangkitan Nasional Indonesia semestinya ditandai dengan kesadaran oleh sebuah bangsa bahwa negara harus benar bangkit dan menjadi harapan  untuk  mensejahterakan rakyatnya.

Sebuah refleksi Seratus Tahun Kebangkitan Nasional Indonesia semestinya memberikan harapan baru yang dibangun berdasarkan harmonisasi rakyat dengan pemerintahnya.  Dan bukan justru oleh pemerasan pemerintah terhadap rakyatnya melalui politik energi. Tapi, Inilah sebuah realitas dari kegagalan pemerintah SBY-JK.

* Penulis adalah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (USU)

Tinggalkan komentar