Meremajakan Kembali Pancasila

Oleh Umar Syadat Hasibuan

Belakangan ini berbagai diskusi mengenai peran dan relevansi Pancasila kembali mengisi perbincangan publik kita. Uniknya, berbagai forum ini tidak lagi didominasi secara eksklusif oleh penguasa dan pejabat pemerintah. Melainkan hampir menjadi perhatian serius para cendekiawan, intelektual kampus, mantan pejabat negara, dan sejumlah aktivis muda.

Bila ditilik dari isi, setidaknya ada dua keprihatinan mendasar yang muncul dari dalam perbincangan publik ini. Pertama, ketidakpuasan terhadap sistem demokrasi dewasa ini yang kurang menghasilkan wakil-wakil yang benar-benar merepresentasikan aspirasi rakyat. Kedua, sebagai dampak perkembangan wacana hak-hak asasi manusia di alam penuh keterbukaan, demokrasi dianggap telah kebablasan lantaran memunculkan arus politik identitas yang berbalik mengancam integrasi nasional. Pada aras ini banyak kalangan merasa ketar-ketir, dan karenanya memanggil kembali Pancasila sebagai pegangan para juru selamat keutuhan dan kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa. Kita pun membuat kesimpulan, eksperimentasi demokrasi tidak boleh tersesat dan kehilangan arah. Kita membutuhkan apa yang pernah disebut Sulastomo sebagai road map (peta jalan) dimana Pancasila yang masih merupakan cita-cita bisa dioperasionalkan (Kompas, 14/12/07).

Apakah Pancasila tidak operatif? Bagi saya, pertanyaan ini amat menantang. Jawabannya bisa: ya, atau tidak. Pancasila bisa operatif bila ia mampu menjawab aneka persoalan termasuk gelombang universal demokratisasi dan hak-hak asasi manusia (budaya, ekonomi, politik) dewasa ini. Sebaliknya, bisa tidak, bila Pancasila tidak mampu mengakomodasi keragaman tuntutan kemanusiaan kontemporer sekaligus menciptakan persatuan dan kohesi sosial yang stabil. Hemat saya, bentuk dan arah “peta jalan” sebagaimana yang diusulkan Pak Sulastomo amat bergantung pada dua hal yang saya kemukakan ini.

Saya sendiri sampai kini meyakini, Pancasila masih amat relevan sebagai identitas nasional bersama. Tetapi saya tidak bisa berandai-andai bahwa Pancasila bisa menjawab semua persoalan bangsa ke depan, kecuali bila pemahaman kita terhadap Pancasila bisa lebih jujur dan terbuka serta lebih berwawasan moral dan intelektual. Inilah apa yang disebut Pak Sulastomo sebagai sikap the greatest generation dari para bapak pendiri bangsa ini. Sejarah memang telah memberi kita pelajaran, tetapi kejujuran moral dan intelektual semacam itu hampir mustahil muncul dari sikap glorifikasi atau pemujaan terhadap rezim sejarah. Di hadapan berbagai tantangan sejarah yang baru, kita perlu, dan mungkin harus, meremajakan kembali Pancasila.

Mengapa kita perlu meremajakan kembali Pancasila? Apa raison d’etre peremajaan itu, dan ke arah mana Pancasila mau diremajakan? Ada banyak jawaban bisa ditawarkan, tetapi tidak semua jawaban bisa dipertanggungjawabk an secara intelektual, bisa diterima secara moral, dan berbasis pada kenyataan sosial. Tulisan ini adalah sebuah ikhtiar dan hanya alternatif ikhtiar dari banyak jawaban yang mungkin tersedia dan terus diperdebatkan.

Setiap komunitas politik atau negara memerlukan apa yang disebut dengan identitas nasional. Ia adalah seperangkat nilai, ingatan, tradisi dan praktek yang mengikat semua individu dan berbagai komunitas budaya yang berbeda-beda. Identitas nasional memberi arti bagaimana kolektifitas bisa diidentifikasi dan sebuah komunitas politik dapat didefinisikan. Kita bisa mendefinisikan ke-Indonesia- an, persis karena Pancasila menyediakan citra, nilai dan ingatan mengenai Indonesia. Dengan Pancasila sebuah kesatuan komunitas politik yang bernama Indonesia lalu bisa dikenali, diidentifikasi. Dalam pengertian ini Pancasila adalah identitas nasional yang bersifat genuin dan mengikat semua warganegara.

Persoalannya, karena Pancasila adalah citra diri, atau katakanlah sebuah cita-cita yang menjadi dasar sebuah komunitas politik yang dibayangkan (imagined community), yang bernama Indonesia, maka segala kehendak untuk menfiksasi Pancasila sebagai citra diri yang utuh dan tunggal selalu berpotensi mereifikasi dan membekukannya. Begitu Pancasila masuk dalam program indoktrinasi, sebagaimana proyek orde baru lalu, misalnya, maka Pancasila telah dibekukan atau dipersonifikasikan, dan citra dirinya adalah citra diri pemilik kekuasaan. Implikasinya bisa langsung dirasakan sedemikian rupa sehingga mereka yang tidak mencerminkan citra diri tersebut dianggap tidak Pancasilais, tidak nasionalis, dan seterusnya.

Apa yang mengiringi ideologi developmentalisme dari rezim yang lalu, bisa saja berganti ideologi lain entah itu konservatisme liberal ataupun fundamentalisme Islam yang sama-sama bisa beralih wajah militeristik. Sebuah identitas nasional yang bercitrakan salah satu dari ketiga doktrin ideologis tersebut, secara intelektual tidak koheren, secara moral tidak bisa diterima, dan secara sosial tidak bisa dipertanggung- jawabkan.

Kekhawatiran kita dewasa ini sebenarnya bisa dirumuskan secara sederhana. Bagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa tetap bertahan dalam ke-Bhinnekaannya? Rupanya, mencari pemecahan tak segampang merumuskan masalahnya. Buktinya, orde baru gagal membangun kohesi sosial yang berkelanjutan lantaran menyembunyikan aneka perbedaan di bawah “karpet” ancaman SARA. Sementara pada orde sebelumnya aneka perbedaan disingkirkan atas nama sistem demokrasi terpimpin. Dikejar oleh “tantangan” sejarah yang baru, sebuah agenda peremajaan Pancasila dewasa ini dirasakan amat mendesak. Arahnya adalah untuk memenuhi keseimbangan antara keterbukaan akan aneka perbedaan dan kepentingan hidup masyarakat, dan dorongan akan urgensi kohesi sosial dan stabilitas nasional.

Proposal peremajaan Pancasila tak bisa ditunda-tunda. Menurut hemat saya, kita membutuhkan apa yang disebut sebagai identitas nasional yang terbuka dan multi-kultural. Mengapa terbuka dan multi-kultural? Indonesia adalah sebuah negara yang anggotanya bukan hanya individu-individu, tetapi juga terdiri dari beragam komunitas baik agama, etnis, budaya, dan komunitas regional. Setiap individu dan komunitas memiliki orientasi nilai, keyakinan dan falsafah hidup yang berbeda-beda. Ini adalah fakta sosial, sunnatullah. Tidak seperti sering dinyatakan dalam berbagai forum diskusi baik ilmiah maupun non-ilmiah, hemat saya fakta sosial bukanlah suatu ancaman. Ia adalah tantangan bagi para pemikir, intelektual dan negarawan untuk mengelola aneka perbedaan itu sedemikian rupa sehingga tercipta masyarakat yang kohesif, bersatu dan stabil yang sekaligus menjadi prakondisi bagi kesejahteraan dan kemakmuran semua. Bukankah ini yang menjadi filosofi “bhinneka tunggal ika” kita?

Sebuah identitas nasional harus berbasis pada kenyataan sosial. Realitas perbedaan mesti dihargai, bukannya ditekuk-tekuk dan dilipat-lipat. Yang terakhir ini membuat identitas nasional menjadi terisolasi dan tercerabut dari akar sosial dan budaya hidup masyarakat. Akibatnya, ia rapuh dan rentan terhadap disintegrasi.
Selain itu, identitas nasional yang terbuka tidak bisa didasarkan pada satu doktrin kebudayaan atau pandangan hidup tertentu. Entah itu doktrin Islam, doktrin liberalisme atau nasionalisme konservatif. Ia harus dibangun dengan dialog antar berbagai pandangan hidup masyarakat dan bersifat inklusif terhadap berbagai kelompok budaya dan kepentingan rakyat. Inilah raison d’etre dari peremajaan itu.

Sebagai identitas nasional, apakah Pancasila bersifat inklusif dan plural? Ketimbang melakukan glorifikasi, alangkah baiknya kita lebih terbuka secara intelektual sambil tetap hormat terhadap warisan sejarah.
Kita sering menyebut Pancasila secara bergantian sebagai identitas nasional, “core values”, “common platform”, falsafah hidup, dasar negara atau bahkan ideologi negara. Nyaris saja Pancasila yang semacam itu terpersonifikasi dan seolah-olah nyata. Dan karena dipandang sebagai nyata, maka ia diperlakukan seperti layaknya properti yang bisa dimiliki dan nyaris bersifat ekslusif. Justru karena itulah kita memperlakukan Pancasila dalam ironi. Di satu sisi kita mengakuinya sebagai produk konsensus bersama, “common platform” atau “common ground”, tetapi di sisi lain kita menganggapnya sebagai benda alamiah yang statis dan sudah fixed yang menutup ruang interpretasi dan pemaknaan kembali yang lebih segar dan kaya. Kita jatuh pada esensialisme, mereifikasi Pancasila dan mengisolasinya dari horizon pemikiran manusia serta perkembangan jaman.

Dari endapan masa lalu, kita perlu meremajakan kembali Pancasila. Kesaktiannya tidak terletak pada fungsinya sebagai ideologi, korpus yang tertutup dan terisolasi. Melainkan karena kemampuannya menjawab tantangan jaman dan aneka kebutuhan masyarakat. Karena itu, mengutip istilah Sukardi Rinakit, kita membutuhkan Pancasila yang kenyal, sehingga mampu mengantisipasi dan menjawab tantangan sejarah yang bergerak dinamis. Pancasila yang demikian tidak hidup di ruang-ruang penataran dan proyek-proyek indoktrinasi, melainkan dari ruang diskusi di kampus-kampus, sekolah-sekolah sampai warung-warung kopi. Mungkinkah? Jawabannya, sangat mungkin. Syaratnya, jika Pancasila kita perlakukan sebagai identitas nasional yang terbuka dan plural. Hemat saya, kita bisa mengawali road map kita, salah satunya, dari pijakan ini.

* Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Politik UI

Tinggalkan komentar